Sosialisasi Pelarangan Penebangan Mangrove dan Pengambilan batu karang di Pulau Bauluang dan Pulau Satangnga, Tanakeke, Takalar

Mediahitamputih.com.—-Beberapa waktu lalu, pemberitaan hangat mengenai aktivitas destruktif semakin massif dilakukan di Tanakeke : Pengambilan batu karang dan penebangan mangrove secara ilegal. Pemberitaan itu berangkat dari keluhan masyarakat setempat atas aktivitas tersebut karena dapat mengancam keberlanjutan manusia dan pulau-pulau yang di Tanakeke, khususnya Pulau Satangga dan Pulau Bauluang.

Menanggapi isu yang berkembang di Tanakeke, Bapak Sayyid Zainal Abidin, selaku Kepala Cabang Dinas Kelautan (CDK) Mamminasata bersama para staffnya, dan beberapa instansi terkait diantaranya, Bidang Pengawasan Laut Provinsi, Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Makassar, TNI AL, Ditpolairud Polda Sul-Sel, Pokmaswas Jagad Samudera dan juga dari Lembaga Riset sosial dan lingkungan Cita Tanah Mahardika terjun langsung kelokasi. Kunjungan tersebut dilakukan pada (Kamis; 23-11-2023) sebagai bentuk tindak lanjut atas prilaku destruktif yang terjadi di Tanakeke.

Sesampainya di Tanakeke, speedboat yang mereka kendarai langsung menyambangi pulau Bauluang, salah satu pulau yang berada di Desa Minasa Baji. Pak Sayyid, selaku kepala CDK Mamminasata, berharap dapat berdialog langsung dengan kepala desa Minasa Baji. Namun, sangat disayangkan, dialog untuk mencari solusi tidak terjadi dikarenakan ketidakhadiran dari kepala desa. Meskipun demikian, upaya untuk dialog tetap dijalankan dengan mengunjungi langsung masyarakat di Bauluang yang tercatat sebagai penebang mangrove dan pengolah arang.

Dg. Silele, salah seorang warga setempat, menyampaikan kondisinya saat di temui. “Saya terpaksa menebang mangrove karena butuh uang sekolah anak saya yang satu orang.” Dan menurut Dg. Silele, ia berjanji untuk tidak melakukan penebangan mangrove. Ia akan fokus mencari uang melalui budidaya rumput laut dan menangkap ikan dengan bila, sejenis alat tangkap serok. Tuturan yang sama juga diungkapkan oleh Dg. Toro’, akan meninggalkan kegiatan penebangan mangrove jika ada solusi untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Pak Sayyid selaku Kepala Cabang Dinas Kelautan (CDK) Mamminasata dalam sosialisasinya mengajak masyarakat untuk tidak memperparah kondisi krisis di pulau dengan penebangan mangrove, bahkan beliau siap memfasilitasi  warga  jika benar-benar meninggalkan penebangan mangrove dan beralih pada kelompok budidaya rumput laut dan akan didampingi proses pembentukan dan penguatan organisasi  oleh Lembaga Riset dan pemberdayaan CTM.

Kunjungan kedua dihari itu, dilakukan di Pulau Satangga, Desa Mattiro Baji. Disana, rombongan CDK bersama instansi lainnya bertemu dengan Kelompok Pokmaswas Jagad Samudera di sekretariatnya.

Dalam pertemuan ini, pihak CDK berterimakasih atas kerja keras yang dilakukan para anggota Jagad Samudera dalam pengawasan sumber daya pesisir dan laut di perairan Tanakeke. Ia juga menyampaikan bahwa laporan yang disampaikan merupakan informasi yang sangat membantu, termasuk kehadirannya di pulau tersebut tidak dapat dilepaskan dari laporannya.

Setelah makan siang dan berbincang-bincang hangat, pertemuan selanjutnya dilakukan di Kantor Desa Mattiro Baji. Disana, sudah ada Muh. Ridwan Tawang, selaku Kepala Desa Mattirobaji, dan Sekertarisnya. Dalam pertemuan itu, Pak Sayyid menyampaikan: “ kedatangan saya bersama rombongan untuk bersilaturrahmi dan sosialisasi terkait dengan maraknya dua persoalan di dua pulau ini, berharap menemukan solusi atas pertemuan ini dan tidak ada lagi pengrusakan terumbu karang dan penebangan mangrove.”

Pentingnya menjaga ekosistem laut dan pesisir, demikian disampaikan juga oleh Pak Ramlan, BPSPL Makassar. “Menurutnya, 3 ekosistem utama di pesisir dan laut yakni mangrove, lamun dan terumbu karang saling terkait satu sama lain. Jika yang satunya rusak, maka yang lain juga demikian. Ia mencontohkan, bagaimana ketiga ekosistem tersebut berperan. Ekosistem mangrove berfungsi sebagai tempat bermain dan mencari makan bagi ikan-ikan kecil, kemudian berpindah ke lamun dan pada akhirnya menuju terumbu karang saat ikan-ikan tersebut besar. Selain itu, ketiga ekosistem tersebut berperan untuk mencegah abrasi sebagai pemecah arus dan ombak sebelum sampai ke pulau. Dengan demikian, jika ekosistem tersebut rusak, akan berdampak pada pendapatan dan terjadinya abrasi di pulau.”

Selain itu, secara khusus dalam pengambilan batu karang, dipertegas juga oleh aturan Undang-Undang no  27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juncto Undang-undang no 1 tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang no  27 tahun 2007 pasal 35 menegaskan.

Bahwa “ Dalam memanfaatkan  sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil baik langsung atau tidak langsung, dilarang menambang terumbu karang, mengambil terumbu karang dalam Kawasan konservasi, dilarang menggunakan bahan peledak yang dapat merusak, dilarang menggunakan peralatan yang dapat merusak.”

undang-undang ini mengikat dan memiliki konsekwensi penjara paling sedikit 2 tahun dan paling lama 10 tahun dan denda paling sedikit 2 milyar dan paling banyak 10 milyar sesuai pasal ketentuan pidana pada pasal 73.

Menaggapi hal itu, Kepala Desa Mattirobaji muh. Ridwan Tawang menyambut niat baik tersebut. Ia juga menerangkan. “Dikalangan masyarakat ada perbedaan pemaknaan yang tidak boleh diambil, yakni terumbu karang dengan batu karang, bagi warga Satangga. terumbu karang itu adalah yang hidup dan tidak diambil, tapi yang diambil adalah batu karang yang sudah mati”.

Pak Lasamari, selaku warga setempat juga menyampaikan pendapatnya. “Terumbu karang juga akan tidak tumbuh jika batunya diambil”.

Perwakilan pemerintah desa, Sainuddin Dg. Lawa juga, selaku sekretaris desa menambahkan “Karang yang diambil oleh warga adalah karang yang diperuntukan penyelamatan pemukiman yang tergerus karena abrasi, dan juga digunakan untuk pembangunan fasilitas umum dan rumah-rumah warga,  karena membangun dengan menggunakan bahan batu dari daratan utama (Takalar) perbandingannya 4 banding  1.” tegasnya.

Disinilah titik pertentangannya. Dalam aturan Undang-undang  tidak diberikan kelonggaran apapun dalam pengambilan batu karang, termasuk kebutuhan pembangunan di desa.

Pertemuan tersebut menjadi catatan penting bagi banyak pihak yang hadir untuk mempertemukan gagasan dan membangun  langkah bersama untuk penyelamatan ekosistem pesisir dan laut (mangrove, lamun dan terumbu karang) sebagai bentuk keprihatinan atas krisis ekologis yang ada di pulau-pulau Tanakeke dengan berfokus pada apa yang akan terjadi ke depannnya jika praktik pengrusakan ekologis masih tetap berlangsung hingga hari ini.  Untuk itu, upaya kolaborasi bersama mesti dilakukan, bukan hanya untuk kepentingan hari ini, tetapi untuk kepentingan dan keberlanjutan kehidupan anak cucu ke depannya.

 

(Laporan: Udhin)

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*